A. SEKILAS TENTANG MUHAMMADIYAH
Organisasi Muhammadiyah didirikan
pada tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, atau bertepatan dengan tanggal 18 Nopember
1912, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang nama aslinya adalah Muhammad Darwisy di
Kauman Yogyakarta.[1]
Nama Muhammadiyah mengandung pengertian sebagai sekelompok orang yang berusaha
mengidentifikasikan dirinya atau membangsakan dirinya sebagai pengikut,
penerus, dan pelanjut perjuangan dakwah Rasul dalam mengembangkan tata
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi
yang gerak perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan
masyarakat sebagaimana dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan berdasarkan
pola dasar yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw.[2]
Ada dua faktor yang mendorong
lahirnya Muhammadiyah, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern
tersebut antara lain adanya praktik kehidupan beragama yang sudah dianggap
menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, keadaan sosial ekonomi sebagian umat Islam yang sangat rendah sebagai
akibat dari Kolonialisme Belanda. Tidak adanya suatu organisasi Islam yang kuat
yang akan memperjuangkan nasib umat Islam. Sistem pendidikan pondok yang ada,
tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Sedangkan faktor-faktor
ekstern antara lain sifat kolonialisme Belanda yang tidak memperhatikan
kepentingan rakyat Indonesia. Aktivitas-aktifitas misi Kristen yang sepenuhnya
mendapat bantuan dari Belanda.[3]
Usaha dan kegiatan Muhammadiyah
antara lain :
1. Mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar
di seluruh Indonesia, sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang
memberikan pelajaran umum sebagaimana sekolah-sekolah negeri di samping
pelajaran agama Islam. Pada zaman penjajahan, Muhammadiyah mempelopori mendirikan sekolah-sekolah yang
sama dengan yang didirikan oleh Belanda
sebagai tandingan. Bedanya ialah pada sekolah Muhammadiyah dimasukkan pelajaran
agama dan sistem penerimaan siswa tidak ada pembatasan bangsawan atau rakyat
jelata. Sedangkan sekolah yang didirikan oleh Belanda tidak semua orang bisa
memasukinya, sebab adanya pembatasan-pembatasan.
Sekolah-sekolah yang didirikan
Muhammadiyah pada masa itu diantaranya Bustanul A’fal (taman kanak-kanak),
Sekolah kelas dua, HIS, MULO, Sekolah Guru (Kweekschool) dan AMS. Di samping
itu, didirikan pula sekolah-sekolah agama seperti Ibtidaiyah, Tsanawiyah,
Mu’allimin (setaraf dengan SLTA), Kulliyatul Mubalighin (Kuliyah Mubaligh) dan
lain-lain.
Sampai sekarang sekolah-sekolah
Muhammadiyah berkembang lebih pesat lagi, menunjang usaha pemerintah Indonesia
dalam bidang pendidikan dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah,
Diniyah, TK, SD, SMP, SMA, SMEA, SPG, SMOA, SK, KP, SKKA, IKIP, Universitas dan
lain-lain, di seluruh pelosok Indonesia. Dan sebagian sekolah-sekolah tersebut
mendapatkan bantuan dan subsidi dari pemerintah.
2. Mendirikan Rumah sakit,
poliklinik-poliklinik, tempat-tempat pemeliharaan yatim piatu, penolong
kesengsaraan umum dan usaha-usaha lain bagi kesejahteraan umat.
3. Menggiatkan dan memperluas dakwah Islam,
pengajian-pengajian, mendirikan masjid-masjid dan mushola, madrasah-madrasah,
pesantren, menyebarluaskan bacaan agama serta bimbingan dan penyuluhan dalam
pengalaman ajaran agama.
4. Menggiatkan pembinaan di kalangan kaum
wanita, remaja, anak-anak, dengan mengadakan bagian wanita (Aisyiyah),
kepemudaan dan kepramukaan.[4]
Kegiatan lain dalam bentuk
kelembagaan yang berada di bawah organosasi Muhammadiyah ialah :
1. Hizbul Wathan, berupa gerakan kepanduzn
Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1918 oleh KH. Ahmad Dahlan.
2. Majlis tarjih, yang didirikan atas dasar
keputusan Kongres Muhammadiyah di Pekalongan pada tahun 1927. Fungsi majlis ini
adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah
tertentu yang dipertikaikan oleh masyarakat muslim.[5]
B. AMAL USAHA MUHAMMADIYAH DALAM BIDANG
PENDIDIKAN
1. Dasar dan Fungsi Lembaga Pendidikan
Yang
menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah, adalah :
a. Tajdid, ialah kesediaan jiwa berdasrkan
pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat yang sudah
terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan.
b. Kemasyarakatan. Antara individu dan
masyarakat supaya diciptakan suasana saling membutuhkan. Yang dituju ialah
keselamatan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
c. Aktivitas. Anak didik harus mengamalkan
semua yang diketahuinya dan menjadikan pula aktivitas sendiri sebagai suatu
keseluruhan.
d. Kreativitas,
yaitu si anak didik harus mempunyai kecakapan atau keterampilan dalam
menentukan sikap yang sesuai dan menetapkan alat-alat yang tepat dalam
menghadapi situasi-situasi baru.
e. Optimisme, yaitu si anak didik harus
yakin bahwa dengan keridhaan Tuhan, pendidikan akan dapat membawanya kepada
hasil yang dicita-citakan, asal dilaksanakan dengan penuh dedikasi dan tanggung
jawab, serta menjauhkan diri dari segala sesuatu yang menyimpang dari segala
sesuatu yang digariskan oleh agama Islam.
Sedangkan
lembaga pendidikannya berfungsi sebagai berikut :
a. Alat dakwah ke dalam dan luar
anggota-anggota Muhammadiyah. Dengan kata lain, untuk seluruh anggota
masyarakat.
b. Tempat pembibitan kader; yang
dilaksanakan secara sistematis dan selektif, sesuai dengan kebutuhan
Muhammadiyah khususnya, dan masyarakat Islam pada umumnya.
c. Gerak amal anggota; penyelenggaraan
diatur secara berkewajiban terhadap penyelenggaraan dan peningkatan pendidikan
itu, dan akan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah.[6]
2. Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Dalam bidang pendidikan,
Muhammadiyah merupakan organisasi massa Islam terdepan dan terbesar
dibandingkan dengan organisasi yang lainnya. Bagi Muhammadiyah, pendidikan
mempunyai arti penting, karena melalui bidang inilah pemahaman tentang ajaran
agama Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika program nyata yang
paling awal dilakukan oleh Muhammadiyah adalah mengembangkan pendidikan. Di
bidang ini, paling tidak ada dua segi yang menjadi sasaran pembaruan, yaitu
cita-cita dan teknik pengajaran. Dari segi pertama KH. Ahmad Dahlan
menginginkan bahwa cita-cita pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia
Muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan paham masalah
ilmu keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Sedangkan
pembaruan segi yang kedua berkaitan dengan cara-cara penyelenggaraan
pengajaran. Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem Barat dan sistem
pendidikan tradisional, Muhammadiyah
berhasil membangun sistem pendidikan sendiri seperti sekolah model Barat,
tetapi dimasukkan materi pelajaran agama di dalamnya, sedangkan sekolah agama
dengan menyertakan pelajaran sekuler. Dalam penyelenggaraannya, proses belajar
mengajar tidak lagi diadakan di masjid atau langgar, tetapi di gedung yang
khusus, yang dilengkapi dengan meja, kursi dan papan tulis, sehingga tidak lagi
duduk di lantai.[7]
Pada tahun 1928, Muhammadiyah
mendirikan Standard School dan Wustho di tiap cabang. Penyeragaman Rencana
Pelajaran (Kurikulum di sekolah-sekolah Muhammadiyah mulai dicanangkan tahun
1929. Satu tahun kemudian ditetapkan hari Jum’at sebagai liburan mingguan,
bulan puasa sebagai libur tahunan, dan bulan Syawal sebagai awal tahun ajaran.
Sekolah kejuruan sperti pertanian,
pertukangan, dan perdagangan ditetapkan sebagai program sejak tahun 1931.
Mengadakan kursus guru pada tahun 1932 dan mendirikan HIK Muhammadiyah pada
tahun 1930.
Khusus mengenai penyelenggaraan
pendidikan agama di sekolah pemerintah, tahun 1926 Muhammadiyah mulai berusaha
menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah Gubernemen atau pemerintah. Untuk
itu kemudian Muhammadiyah mengusulkan agar pendidikan agama dilaksanakan di
semua tingkatan sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi.[8]
3. Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah
dalam Bidang Pendidikan
Perkembangan amal usaha yang
dilakukan oleh Muhammadiyah sangat cepat. Dalam tahun 1925, kegiatan-kegiatan organisasi
ini dalam bidang pendidikan meliputi 8 Hollands Inlandse School, sebuah
sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah Shakelschool,
14 madrasah, seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4000 murid.[9]
Diantara sekolah-sekolah
Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya ialah :
a. Mu’allimat Muhammadiyah
Pada
tahun 1912, murid-murid standaar-school yang berjumlah 10 orang dididik
di serambi rumah Kyai Ahmad Dahlan yang disebut orang Qismu Al-Arqa (Hogere
School atau sekolah Menengah
Tinggi). Langkah Kyai Ahmad Dahlan ini diamati sebagai pola pengajaran
perpaduan antara model tradisional dengan model modern.
Pada masa awal berdirinya Qismu Al-Arqa sederhana dan
belum mapan. Seringkali pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Semula
pendidikan ini bertempat di serambi rumah Kyai Ahmad Dahlan kemudian dipindah ke
rumah Haji Abdul Majid (Kauman), rumah Haji Mukri (di muka rumah sakit PKU),
pindah lagi ke Suryobrantan (di muka gedung PGA Putri) dan tahun 1927 berpindah
ke Kauman. Setelah mendapat tanah dibangunlah gedung beserta asramanya di
kampung Ketanggungan.
Qismu Al-Arqa pernah berganti nama menjadi Kweekschool
(Sekolah Persemaian Guru) Muhammadiyah tahun 1912 dengan KH. Siraj Dahlan
sebagai Direkturnya. Dalam langkah berikutnya dibentuk CPR KWM (Commite
Pembangunan Rumah Kweekschool Muhammadiyah). Organisasi dan tata cara
penyelenggaraan sekolah diatur secara modern yang belum pernah dilakukan oleh
sekolah-sekolah agama sebelumnya. Institusi ini memberikan kesempatan kepada
perempuan khususnya untuk belajar dalam sistem co-education, di mana
murid laki-laki belajar bersama-sama dengan murid perempuan dalam satu kelas.
Setelah berganti
nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah diadakan pemisahan menjadi Kweekschool
Muhammadiyah putra yang kemudian menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
yang bertempat di Ketanggungan dan Kweekschool bagian putri. Bagian putri pada
awalnya dipimpin oleh R. Haji Majid tahun 1923 bertempat di Ngampilan dan tahun
1924 pindah ke Ngupasan. Memasuki kepemimpinan R. Haji Jalal tahun 1927,
Kweekschool bagian putri ini diganti nama Kweekschool Istri Muhammadiyah,
bertempat di rumah Haji Ali, lalu pindah ke Notoprajan pada tahun 1928.
Madrasah Mu,allimat Muhammadiyah ini mengalami perpindahan berkali-kali dari
dapur rumah Kyai Ahmad Dahlan ke rumah Haji Syuja’ kemudian ke Ngampilan,
Ngupasan, Kauman (rumah Haji Marju’) kemudian pindah lagi ke rumah Haji Ali dan
akhirnya pindah ke Notoprajan sampai sekarang. Pada tahun 1930, Kweekschool
Istri berganti nama menjadi Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah,
berdasarkan Kongres Muhammadiyah ke-23, tanggal 19-25 Juli 1934 di Yogyakarta.
Dinyatakan dalam keputusan tersebut bahwa Madrasah Muhammadiyah adalah tempat
salah satu sekolah kader persyarikatan tingkat menengah yang diadakan oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mencapai tujuan Muhammadiyah
2. Membuat calon kader Muhammadiyah
3. Menyiapkan calon pendidik, ulama dan
zu’ama yang berkemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Setelah ditetapkan sebagai Madrasah
Mu’allimat Muhammadiyah, mulai tahun 1932 kepemimpinan dipegang oleh Kyai A. Badawi.
Pada saat kepemimpinan Drs. Hamdan Hambali
secara perlahan dilakukan penataan yang cukup mendasar sekaligus penyesuaian
perkembangan sains dan teknologi yang semakin cepat. Pada awalnya inisiatif
didirikannya lembaga Muhammadiyah khusus putri ini secara tidak langsung
berkaitan dengan perkembangan strategi Aisyiyah, yang dalam kongres
Muhammadiyah ke-23 sudah mencakup amaliah dan urusan sekolah/pengajian, di
samping urusan Nasyiah, urusan tabligh, urusan Wal Al- Ashari dan urusan
Dzahirah. Pendidikan yang dicita-citakan di masa depan bagi kaum putri tidak
hanya dalam bentuk pondok atau asrama, namun mulai dikembangkan dalam bentuk
sekolah. Oleh karena itu, Madrasah Muhammadiyah memadukan pola Pondok (asrama)
dengan sekolah-sekolah modern yang meliputi kurikulum dan budaya pembinaan
mental.
Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana
yang telah yang telah dirumuskan dalam Qaidah Madrasah, maka pengembangan
Madrasah ini diarahkan kepada hal-hal berikut.
1. Kurikulum
Kurikulum Madrasah Mu’allimat merupakan perpaduan antara
kurikulum Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dengan kurikulum Mu’allimat.
Dengan perpaduan dua sistem kurikulum tersebut, menjadikan lulusan Mu’allimat
mampu melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi, baik umum maupun agama, dengan
tetap memandang sebagai kader Muhammadiyah dan Aisyiyah. Peningkatan kemampuan
berbahasa asing, baik bahasa Inggris maupun bahasa Arab, juga diberi perhatian
dengan menempatkan bimbingan bahasa setiap asrama yang dikelola oleh madrasah.
2. Program Asrama
Asrama
sebagai unit terpadu, merupakan sistem pendidikan ini. Madrasah Mu’allimat
dengan menekankan pendidikan dari segi pembinaan kepribadian dan kedisiplinan
(efektif dan psikomotorik), yakni dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang
diterima melalui pendidikan formal di sekolah.
Dengan
adanya sistem asrama ini, maka tujuan terbentuknya siswi berjiwa takwa,
memiliki akhlak karimah, jiwa kepemimpinan yang memiliki kemandirian,
bertanggung jawab, dan menjadi uswatun hasanah
di tengah masyarakat, akan menjadi instrumen penting, baik bagi
lingkungan sosialnya maupun lingkungan materialnya.
Madrasah
Mu’allimat memiliki dua bentuk asrama, yaitu asrama resmi dan asrama tidak
resmi. Asrama resmi adalah asrama yang dikelola oleh madrasah, baik milik
sendiri maupun wakaf atau menyewa. Penanggung jawab asrama adalah seorang guru
yang ditunjuk. Sedangkan asrama yang tidak resmi adalah asrama milik pribadi
yang diselenggarakan oleh seorang guru madrasah atau seorang tokoh masyarakat
yang diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas-tugas pendidikan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Selain keberadaan asrama yang cukup berpengaruh bagi
penciptaan lingkungan belajar yang kondusif, juga memiliki perpustakaan,
pelayanan bimbingan, dan penyuluhan.
3. Perkaderan
Pendirian Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah dimaksudkan
sebagi garda depan (Kawah Candradimuka) bagi kader-kader putri Islam untuk
berkreasi dan beraktivitas. Di samping itu juga memberikan ruang, waktu,
pembinaan, pengkaderan yang intensif, dan integratif.[10]
b. Mu’allimin Muhammadiyah
Madrasah ini merupakan Madrasah
Muhammadiyah yang tertua dan bersejarah. Mula-mula madrasah didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan pada tahun 1920 dengan nama Qismul Arqa, kata itu sering disebut
Hogere School yang berarti Sekolah Menengah Tinggi. Sebagi tempat belajar
digunakan ruang makan sekaligus dapur rumah keluarga KH. A. Dahlan. Muridnyapun
terbatas dari kampung Kauman dan sekitarnya.
Pada tahun 1921 Qismul Arqa
berganti nama menjadi Kweekschool Islam. Sejak berubah menjadi Kweekschool,
jumlah murid bekembang pesat. Apalagi pada tahun 1930-an ketika cabang-cabang
Muhammadiyah telah banyak berdiri di
hampir seluruh pelosok tanah air, Madrasah Mu’allimin mulai menampung
murid-murid dari luar Jawa. Hal itu tidak terlepas dari kehendak para pengurus
Muhammadiyah di daerah-daerah untuk memiliki dan menempa kader-kader mereka
yang dipersiapkan sebagai guru, mubaligh, dan pemimpin Muhammadiyah. Tampaknya
inilah yang mendorong Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah untuk menciptakan
kader-kader guru, mubaligh, dzuama’ dan dzaimat.
Pada tahun 1980, saat direktur madrasah
dijabat oleh H. M. S. Juraimi, madrasah ini melakukan pembaruan orientasi
pendidikan yang diarahkan pada perpaduan antara kebutuhan Persyarikatan dan
kebutuhan masyarakat. Maka langkah perkembangan Mu’allimin mempunyai tiga ciri
pokok :
1. Memasukkan kurikulum Madrasah Tsanawiyah
dan Aliyah ke dalam kurikulum Mu’allimin
2. Memberlakukan sistem yang bertumpu pada
konsep life long-education
3. Intensifikasi pendidikan dwi bahasa,
yakni bahas Inggris dan bahasa Arab.
Pada tahun 1987, saat Direktur
Mu’allimin dijabat oleh Drs. H. Sri Satoto, perubahan orientasi ini memperoleh
bentuk ketika dilakukan resistemasi program pendidikan. Ciri penting pada
langkah ini adalah kebijakan merekayasa suatu paket terpadu yang menyangkut
materi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan pendekatan kurikulum silang.
Perpaduan antara kurikulum Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di satu pihak dengan
kurikulum Mu’allimin di pihak lain diperkaya dengan referensi kitab kuning.
Proses inilah yang berlangsung sampai saat ini.[11]
C. AMAL USAHA MUHAMMADIYAH DALAM BIDANG
SOSIAL
Dalam bidang kemasyarakatan, usaha
yang dilakukan Muhammadiyah yaitu dengan mendirikan berbagai rumah sakit,
poliklinik, rumah yatim-piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga, bukan
secara individual sebagaimana yang dilakukan orang pada umumnya di dalam
memelihara anak yatim-piatu. Usaha pembaruan dalam bidang sosial kemasyarakatan
ini ditandai dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada
tahun 1923. Ide dibalik pembangunan dalam bidang ini karena banyak diantara
orang Islam yang mengalami kesengsaraan. Hal ini merupakan kesempatan kaum
muslimin untuk saling menolong.[12]
Jumlah amal usaha Muhammadiyah dalam
bidang sosial berdasarkan data yang terhimpun di Sekretariat kantor Pimpinan
Pusat Muhammadiyah pada tahun 2004, yakni (1) Panti asuhan (338 buah); (2)
Panti jompo (54 buah); (3) Asuhan keluarga (54 buah); (4) Rehabilitasi cacat
(82 buah).[13]
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Organisasi
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah
dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak perjuangannya ditujukan untuk
mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat sebagaimana dikehendaki Islam.
Usaha-usaha dilakukan berdasarkan pola dasar yang telah dicontohkan Rasulullah
Muhammad Saw. Ada dua faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah, yakni faktor
intern dan faktor ekstern.
2.
Muhammadiyah
merupakan organisasi sosial keagamaan dan pendidikan yang terpenting di Indonesia. Muhammadiyah
berhasil membangun sistem pendidikan sendiri seperti sekolah model Barat,
tetapi memasukkan materi pelajaran agama di dalamnya, sedangkan sekolah agama
dengan menyertakan pelajaran sekuler. Seiring dengan berkembangnya organisasi
Muhammadiyah dengan jumlah anggotanya yang semakin meningkat bertambah pula jumlah
sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah meningkat setiap tahunnya.
Diantara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya ialah
Mu’allimat Muhammadiyah dan Mu’allimin Muhammadiyah.
3.
Selain
dalam bidang pendidikan, amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial juga
berkembang. Usaha yang dilakukan Muhammadiyah yakni dengan mendirikan
Pertolongan Kesengsaraan Oemoem (PKO), membangun rumah sakit, poliklinik, panti
jompo, dan lain-lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Agama. Ensiklopedi Islam. Jakarta : CV. Anda Utama.
Mulkhan, Abul
Munir. Pemikiran K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial. Jakarta : Bumi Aksara, 1990.
Wahab, Rochidin.
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (SPII). Bandung : Alfabeta, 2004.
Yusuf, Yunan, dkk.
Ensiklopedi Muhammadiyah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Zuhairini,
dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1986.
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 1999.
[1] Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi
Muhammadiyah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 250.
[2] Abul Munir Mulkhan, Pemikiran
K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial
(Jakarta : Bumi Aksara, 1990), 4-5.
[3] Departemen Agama, Ensiklopedi
Islam (Jakarta : CV. Anda Utama), 789.
[4] Rochidin Wahab FZh, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (SPII) (Bandung : Alfabeta, 2004), 24.
[5] Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelmbagaan Agama
Islam, 1986), 176.
[6] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1999),
100.
[7] Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi
Muhammadiyah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 253.
[8] Abul Munir Mulkhan, Pemikiran
K. H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial
(Jakarta : Bumi Aksara, 1990), 112.
[9] Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1986), 176.
[10] Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi
Muhammadiyah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 245.
[11] Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi
Muhammadiyah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 247.
[12] Yunan Yusuf, dkk, Ensiklopedi
Muhammadiyah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 253.
[13] Ibid., 255.