Jumat, 10 Januari 2014

HADIS TENTANG CARA MENSUCIKAN TANAH DARI NAJIS




حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ" (رواه البخاري)
أخرجه البخاري, كتاب الوضوء,  باب صب الماء على البول في المسجد
Abul Yaman meriwayatkan kepada kami, ia berkata: Syu’aib mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, ia berkata: ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud mengabarkan kepadaku, bahwasanya Abu Hurairah r.a. pernah berkata: “ Seorang Arab Badui berdiri lalu buang air kecil di dalam masjid, dan orang-orang meneriakinya, lantas Nabi Saw. bersabda kepada mereka: Biarkanlah ia, dan siramlah air kencingnya dengan satu timba air –atau satu geriba berisi air- karena sesungguhnya, kalian di utus untuk mempermudah, bukan mempersulit.”
A.    STATUS HADITS
1.      Segi Kualitas
Hadits ini tergolong hadits shahih, karena diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alaih [yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (dari Abu Hurairah dan Anas) dan Muslim (dari riwayat Anas) dengan sama maksudnya, sekalipun berbeda lafalnya].[1] Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, at- Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi dengan maksud yang sama.
2.      Segi Kuantitas
a)      Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa riwayat ini adalah riwayat yang shahih karena tergolong hadits marfu’(bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah). Ibnu Majah dan Ibnu Hibban meriwayatkan hadis ini secara lengkap melalui jalur Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah. Demikian juga riwayat Ibnu Majah dari hadits Washilah bin al-Asqa’. Abu Musa juga meriwayatkan dari jalur al-Asham. Hadis ini juga disebutkan dalam kumpulan Musnad Ibni Ishaq karya Abu Zur’ah ad-Dimasyqi dari jalur para perawi dari negeri Syam, dari Sulaiman bin Yasar, dengan sanad yang sama.[2]
b)      Abu Isa berkata dalam Sunan At-Tirmidzi: "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan sebagian ahli ilmu beramal dengan hadits ini.”  Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas dan Watsilah bin Al Asqa'. Syekh Al-Albani dalam Sunan an-Nasa’i memberikan status shahih pada hadits ini.
c)      Dalam software mausu’at al hadits al sharif: al-Kutub al -Tis’ah, sanad hadits di atas bersambung kepada Rasulullah dan perawi-perawinya memiliki tingkatan ثقة atau   ثبت (terpercaya/teguh).

B.     REDAKSI KATA HADITS
1.      قَامَ أَعْرَابِيٌّ   berarti “Seorang Arab Badui berdiri”. Dalam riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya, Ibnu ‘Uyainah menambahkan pada awal hadits:
((أنَّهُ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلَا تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ (لَقَدْ تَحَجَّرْتَ وَاسِعًا) فَلَمْ يَلْبَثْ أَنْ بَالَ فِي الْمَسْجِدِ))
“Bahwasanya orang Arab Badui itu mengerjakan shalat lalu berdo’a: "Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad, dan jangan engkau sayangi seorang pun bersama kami." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu berpaling ke arahnya seraya bersabda: "Sungguh engkau telah mempersempit sesuatu yang luas." Setelah itu ia kencing di dalam masjid.”

Abu Bakar at-Tarikhi menukil dari Abdullah bin Nafi’ al-Muzani, bahwa Arab Badui tersebut bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Dan telah dinukil dari Abul Husain bin Faris bahwa nama orang Arab Badui tersebut adalah ‘Uyainah bin Hishn. Wallahu a’lam.

2.      فِي الْمَسْجِدِ “Di dalam Masjid”. Yakni di Masjid Nabawi.
3.      فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ  “Dan orang-orang pun meneriakinya”. Yakni menyakitinya dengan  lisan. Al-Bukhari juga memiliki riwayat lain dari Anas yang isinya:   فَثَارَ إِلَيْه الناس “Maka mereka berdiri mendekatinya” dan فزجره الناس “Maka orang-orang menghardiknya” dalam riwayat Muslim dari Anas, dengan lafadz:فقال الصحابة مه مه  “Maka para sahabat berkata: Mah! Mah!”. Dari riwayat-riwayat ini jelaslah bahwa orang-orang menyakiti si Arab Badui tersebut dengan ucapan, bukan dengan tangan.
4.      دَعُوهُ “ Beliau bersabda: ‘Biarkan dia!’” Perintah ini diucapkan agar para Sahabat membiarkan orang Badui menyeleseikan hajatnya tersebut.
5.      وَهَرِيقُوا “Dan siramlah” Imam Bukhari mencantumkan dalam kitab “Adab” dengan lafadz وَأهْرِيقُوا “Dan Tuangkanlah”.
6.      سَجْلًا “satu timba”. Abu Hatim as-Sijistani berkata: “Yakni timba yang terisi penuh oleh air. Apabila kosong, maka ia tidak disebut demikian”.
7.      أَوْ ذَنُوبًا “atau satu geriba”. Al-Khalil berkata: “Timba yang penuh dengan air.” Ibnu Faris berkata: “Timba besar”. Ibnu Sikkit berkata: “Timba yang berisikan air yang hampir penuh. Jika kosong maka ia tidak disebut dzannub.”
Karena kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, timbullah keraguan pada perawi sehingga ia pun menggunakan kata أَوْ.
8.      مِنْ مَاءٍ “Berisi air”. Pada teks hadits ini disebutkan demikian, padahal dzannub sendiri sebutan untuk timba yang sudah berisi air. Namun, sebenarnya, kata dzannub ini memiliki lebih dari satu makna, sebab kata ini juga berarti kuda yang panjang ekornya dan makna lainnya.
9.      فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ “Karena sesungguhnya kalian diutus “. Artinya para sahabat mendapat perintah dari Beliau. Demikian yang dilakukan Rasulullah kepada terhadap setiap utusan beliau kepada berbagai pihak, yaitu dengan mengatakan kepada mereka: يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا"  Permudahlah dan jangan mempersulit”.[3]

C.    PELAJARAN DARI HADITS
1.      Sebagai petunjuk najisnya kencing manusia dan tanah itu bila dikenai najis bisa suci dengan cara menyiramkan air ke tempat yang terkena najis.[4]
2.      Hadits ini boleh dijadikan landasan bolehnya berpegang dengan dalil umum sebelum didapatkannya dalil yang khusus. Para sahabat serta-merta mengingkari perbuatan orang Badui tersebut tanpa meminta izin kepada Nabi terlebih dahulu karena sudah tertanam dalam diri mereka sikap memerintahkan perbuatan makruf dan melarang dari perbuatan munkar. Oleh karena itu, dalam kisah ini Nabi tidak mengingkari tindakan yang dilakukan oleh para Sahabat terhadap orang Badui tersebut. Beliau hanya memerintahkan mereka untuk menahan diri demi kemaslahatan yang lebih besar. Apabila orang Arab Badui tersebut langsung dilarang, maka hal ini akan memungkinkannya terjadi dua hal: (1) Ia menghentikan buang air, dan itu akan membahayakan kesehatannya; (2) Bisa jadi ia tidak menghentikan buang air, maka kotoran air kencing itu bisa mengenai tubuh, pakaian, atau beberapa tempat di dalam masjid.
3.      Bersegera dalam memberantas kerusakan jika tidak ada kendala yang merintangi. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah Saw. untuk menyiramkan air ke tempat yang terkena najis air kencing tersebut.
4.      Air yang digunakan untuk menyiram tempat yang terkena najis hukumnya suci, demikian juga dengan najis yang sudah disiram dengan air. Sebab, basah yang tertinggal di tanah karena siraman air tadi adalah air bekas pencuci najis. Apabila tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tanah yang terkena air kencing itu harus dipindahkan, dan kita mengetahui bahwa maksud penyiraman air ke tempat tersebut bertujuan untuk menyucikannya, maka jelaslah bahwa basah bekas siraman air yang ada di tanah tersebut dihukumi suci. Apabila hukum bekas siraman air tersebut dinyatakan suci, berarti tanahnya juga dianggap suci, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya.
5.      Hadits ini juga dijadikan dalil bahwa sucinya tempat tersebut tidak harus menunggu hingga airnya meresap. Sebab jika meresap menjadi syarat sucinya, berarti tempat itu baru dinyatakan suci jika sudah kering. Demikian juga dalam hal mencuci pakaian dari najis, ia tidak harus diperas, karena tidak ada perbedaan hukum di antara kedua kasus di atas.
Setelah al-Muwaffaq menukil perselisihan ulama di dalam kitab al-Mughni, ia berkata: “Pendapat yang paling tepat adalah menyatakan air tersebut suci secara mutlak. Sebab setelah Nabi Saw. menyiramkan air ke tempat yang terkena air kencing orang Badui itu, beliau tidak memberi syarat yang lainnya.”
6.      Bersikap lembut terhadap orang jahil (bodoh terhadap syari’at Islam) dan mengajarinya apa yang harus mereka ketahui tanpa bersikap kasar, selama si jahil tersebut tidak keras kepala dengan tujuan untuk melunakkan hatinya.
7.      Menunjukkan kasih sayang dan kemuliaan akhlak Nabi Saw.
8.      Diharuskan memuliakan masjid dan membersihkannya dari berbagai kotoran. Faedah ini dapat disimpulkan dari hadits Anas yang diriwayatkan oleh Muslim; bahwa Rasulullah Saw. memanggil orang Badui itu setelah selesei kencingnya. Di dalamnya disebutkan bahwa masjid tidak boleh digunakan kecuali untuk shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir.
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

D.    DIALOG TERHADAP HADITS
Ada yang mengatakan: Tanah bisa suci oleh panas matahari dan angin. Di dalam Talkhis al-Habir, ada sebuah hadits yang menyatakan, “Kesucian tanah adalah ketika tanah itu kering”. Hadits ini dijadikan landasan oleh Madzhab Hanafi.[5]
Ada yang mengatakan bahwa bila tanahnya keras, maka harus digali dan membuang tanah yang terkena najis karena air tidak bisa meresap di atas dan di bawah tanah tersebut. Tertera dalam sebagian riwayat hadits itu, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: (artinya) Ambillah tanah yang dikencingi itu dan buanglah tanah itu, barulah tuangkan air di atas bekasnya itu.[6]
Ada yang mengatakan: Masjid Nabi saw. waktu itu gembur sehingga cukup dengan menuangkan air saja ke dalamnya. Kalau tanahnya keras harus dicuci sebagaimana mencuci najis-najis lainnya.[7]

Pendapat Ulama’ Tentang Cara Mensucikan Tanah yang Terkena Najis:
1.      Pendapat Madzhab Hanafi, mereka mengatakan bahwa tanah yang terkena najis tidak dapat disucikan kecuali dengan cara menggalinya. Demikian yang disebutkan oleh an-Nawawi dan ulama’ lainnya. Adapun yang tercantum dalam kitab-kitab madzhab Hanafi, jika tanah yang terkena najis adalah jenis tanah yang lunak, sehingga air dapat mengalir ke sela-sela tanah tersebut, maka tanah seperti ini tidak perlu digali. Akan tetapi jika tanahnya keras, maka tanah yang terkena najis tersebut harus digali dan dibuang. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari tiga jalur, yaitu satu sanad bersambung dari Ibnu Mas’ud dan dua sanad lainnya yang berkualitas mursal, yang satu diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalur ‘Abdullah bin Ma’qil dan yang satu lagi dari Sa’id bin Manshur dari jalur Thawus.[8]
2.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa tanah yang terkena najis (air kencing) dapat disucikan dengan menyiramkan air ke tempat yang terkena najis, tanpa perlu menggali dan membuangnya.[9] Begitu pula dengan Imam Muhammad bin Isma’il Ash Shon’aniy. Alasannya hadits tersebut di atas jelas bahwa dengan menuangkan air di atas tanah itu, maka tanah menjadi suci, baik tanah itu gembur atau keras. Hadits itu juga jelas bahwa sucinya tanah itu tidak tergantung meresapkan air ke dalam tanah. Karena Nabi Saw. tidak mensyaratkan sesuatu sewaktu menuangkan air di atas bekas kencing orang Badui itu.[10] 

Kompromi
1.      Tanah bisa menjadi suci dengan menyiramkan air di atasnya bukan akibat dari tiupan angin dan sinar matahari. Sebab apabila tiupan angin dan sinar matahari  yang dapat mengeringkan tempat tersebut bisa mensucikannya, tentu saja Rasulullah Saw. tidak perlu memerintahkan para Sahabat untuk mengambil satu timba air dan menyiramkannya ke tempat yang terkena air kencing.[11]
2.      Sedangkan hadits dalam Talkhis al-Habir yang menyatakan bahwa “Kesucian tanah adalah ketika tanah itu kering”. Hadits ini bukanlah hadits marfu’, tetapi diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebagai hadits mauquf (Hadits yang sanadnya hanya sampai pada sahabat/tidak sampai kepada Nabi) dari Abu Ja’far bin Ali al-Baqir, seperti diceritakan juga oleh Abdurrazaq dari Abi Qilabah, dengan redaksi yang berbeda “Kekeringan tanah adalah kesuciannya”.[12]
3.      Hadits yang dijadikan dasar oleh madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa tanah yang terkena najis itu harus digali dan dibuang yang diriwayatkan oleh ath-Thahawi dari Ibnu Mas’ud, ternyata di dalam sanadnya terdapat seorang perawi dha’if. Demikian yang diungkapkan oleh Ahmad dan ulama lainnya.[13]

E.     KESIMPULAN
Secara umum hadits ini menunjukkan pada dua hal:
1.      Menyucikan najis yang berada di permukaan bumi, seperti tembok, tanah, batu cukup dengan disiram air satu kali sehingga menghilangkan materi najis yang ada. Tidak disyaratkan untuk menggalinya/mencangkulnya.
2.      Dalam menegur orang jahil (bodoh dalam syari’at Islam) harus dengan cara lemah lembut dan mengajarinya tentang apa yang harus mereka ketahui tanpa bersikap kasar.

REFERENSI
Al Kahlaniy, Muhammad bin Isma’il. Subulus Salam. Terj. Abu Bakar Muhammad. Surabaya: Usana Offset.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari: Syarah Shahih Bukhari. Terj. Abu Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, Jilid 3, 2010.
Imam Syafi’i. Al-Umm. Terj. Ismail Yakub. Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1989.
Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah. Terj. Ahmad Shiddiq Thabrani et.al. Jakarta: Pena Pundi Aksara, cet. 1, 2008.
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan at-Tirmidzi dalam software Maktabah Syamilah.



[1] Imam Muhammad bin Isma’il Al Kahlaniy, Subulus Salam, terj. Abu Bakar Muhammad  (Surabaya: Usana Offset, ...), 50.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari: Syarah Shahih al-Bukhari, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Riyadh: Daar as-Salaam, 2000), 461.
[3] Ibid., 461-463.
[4] Ash Shon’aniy, Subulus Salam.,50.
[5] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terj. Ahmad Shiddiq Thabrani et.al, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2008), 28.
[6] Ash Shon’aniy, Subulus Salam.,51.
[7] Ibid.
[8] Al- Atsqalani, Fathul Baari., 469.
[9] Imam Syafi’i, Al- Umm (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1989), 128.
[10] Ash Shon’aniy, Subulus Salam.,51.
[11] Al- Atsqalani, Fathul Baari., 467.
[12] Ash Shon’aniy, Subulus Salam.,50.
[13] Al- Atsqalani, Fathul Baari., 469.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar