A.
Sekitar
Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama pada waktu berdirinya
ditulis dengan ejaan lama”Nahdlatoel Oelama (NO) didirikan di Surabaya pada
tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh
kalangan ulama penganut mazhab yang sering kali menyebut dirinya sebagai
golongan Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari dan
K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Berdirinya gerakan NU tersebut adalah
sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan ummat islam Indonesia,
dan berusaha mempertahankan salah satu dari 4 madzab dalam masalah yang
berhubungan dengan fiqh, Madzab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Mazhab
Hambali. Sedangkan dalam i’tiqat NU
berpegang dalam aliran Ahlussunnah Waljama’ah.sebagai ajaran islam yang murni
sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya.[1]
Pada mulanya NU merupakan organisasi
yang lahir dan tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan pergerakan nasional,
maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan berjiwa
pergerakan anti penjajahan, atau terlibat dalam bidang politik diantaranya:
1.
Menolak
subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolak kerja rodi
yang dibebankan kepada bangsa Indonesia.
2.
Menolak
rencana ordonansi perkawinan tercatat.
3.
Menolak
diadakan milisi
4.
Mendukung
tuntutan berparlemen
5.
Mengadakan
usaha-usaha sosial dalam masyarakat.
6.
Mendidik
mental beragama diantaranya mendirikan pondok pesantren.
Motivasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan
peranan ulama pesantren yang sudah ada,untuk ditingkatkan dan dikembangkan
secara luas yang bagi NU digunakan sebagai waddah untuk mempersatukan dan
menyatukan langkah para ulama pesantren didalam tugas pengabdian yang tidak
terbatas kepada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual islam saja, tetapi
lebih ditingkatkan lagi agar para ulam lebih peka terhadap masalah –masalah
sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya.[2]
Adapun para ulama pendiri NU, antara
lain :
1. K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
2. K.H. Abdul Wahab Hasbullah
3. K.H. Bisri Jombang
4. K.H. Ridwan Semarang
5. K.H. Nawawi Pasuruan
6. K.H. Asnawi Kudus
7. K.H.R. Hambali Kudus
8. K. Nakhrawi Malang
9. K.H. Doromuntaha Bangkalan.
10. K.H.
M. Awi Abdul Aziz
B.
Latar
Belakang Lahir dan Perkambangan Nahdlatul Ulama
Memahami
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jami’iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) secara
tepat belumlah cukup dengan hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir
berikut pertumbuhan dan perkembangannya hingga dewasa ini. sebab jauh sebelum
NU lahir dalam bentuk jami’iyyah (organisasi), ia lebih dahulu mewujud dalam
bentuk jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan
yang mempunyai karakter tersendiri.
Lahirnya
jami’iyyah NU tidak ubahnya mewadahi barang yang sudah ada. Dengan kata lain,
mewujudkan NU sebagai organisasi hanyalah sebagai penegasan formal dari
mekanisme informal para ulama pemegang teguh salah satu dari madzab fiqh yang
empat. Yang sudah berjalan jauh dari sebelum lahirnya NU.[4]
Arti penting lahirnya NU ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama untuk
menjaga eksistensi jama’ah tradisional terutama ketika haarus berhadapan dengan
gerakan pembaharuan yang ketika itu telah terlembagakan antara lain dalam
Muhammadiyah.[5]
Dari sekian literature yang berkaitan dengan
latar belakang sejarah berdirinya NU, pada umunya menunjukkan warna yang sama,
yakni reaksi atas perkembangan modernisme islam yang tarik menarik antara
perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika perkembangan islam di
tanah air.
C.
Tujuan dan
Usaha
Sebelum
menjadi partai politik, NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari
mazhab imam yang berempat, yaitu : Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi , dan
mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam
Untuk
mencapai tujuan tersebut diusahakn hal-hal sebagai berikut :
1.
Mengadakan
perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzab tersebut diatas
2.
Memeriksa
kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar
3.
Menyiarkan
agama islam berasaskanpada mazhab-mazhab yang berdasarkan agama islam
4.
Memperhatikan
hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid , surau, pondok begitu juga
dengan hal ihwal anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
5.
Berikhtiar
memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama islam.
6.
Mendirikan
badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaaan, dan perusahaan yang
tiada dilarang oleh syara’ agama islam
Berdasarkan
usaha-usaha tersebut diatas tampaknya pada mulanya NU merupak perkumpulan
sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran islam. oleh sebab itu NU
mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi
nilai kecerdasan masyarakat islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Setelah
menjadi partai politik Mei 1952 yang dituangkan ke dalam Anggaran Dasarnya yang
baru dimana NU bertujuan:
1.
Menegakkan
syariat islamdengan berhaluan salah satu dari pada empat mazhab
2.
Melaksanakan
berlakunya hukum-hukum islam dalam masyarakat
Dari
tujuan tersebut, tampaknya NU masi mempertahankan ciri khasnya yaitu memegang
teguh kepada mazhab-mazhab fiqh dalam rangka menegakkan syariat islam. hanya
pada tujuan kedua yang tampaknya lebih bersifat politis.Untuk mencapai tujuan
tersebut diadakanlah usaha-usaha antara lain dengan jalan :
1.
Menyiarkan
agama islam melalui tabligh-tabligh, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan
2.
Mempertinggi
mutu pendidikan dan pengajaran islam[6]
D. Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih
terkebelakang dikarenakan kurangnya pendidikan yang memadai, dan untuk
membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak yang mulia, maka NU sebagai
organisasi social keagamaan yang lahirnya dari pesantren mencoba untuk
memajukan masyarakat melewati jalur pendidikan.
Tidaklah mengherankan apabila dengan kehadiran
pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk
menjadi dua fungsi yaitu ulama dan politisi. Beberapa ulam dan politisi
direkrut dari pesantren-pesantren baik untuk kepengurusan NU di tingkat local
maupun pusat.
Santri-santri tamatan pesantren pada umunya
mengikuti jejak politik para ulamanya yang mana perkembangan pesantren tersebut
terus maju. Dibeberapa pesantren selain mengajarkan pendidikan model lama, juga
mendirikan sekolah-sekolah agama, misalnya: madrasah ibtidaiyah, Mts dan MA
serta sekolah-sekolah umum yang didirikan NU, yang berfungsi menjadi benteng
furifikasi ajaran ahlussunnah waljamaahpraktis hanyalah mata pelajaran agama.
Selanjutnya sekitar akhir tahun 1938 (1356
H),komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglement tentang susunan
madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H.
Adapun susunan madrasah-madrasah NU, tersebut
adalah :
1. Madrasah Awaliyah dengan
lama belajar 2 tahun
2. Madrasah Ibtidaiyah dengan
lama belajar 3 tahun
3. Madrasah Tsanawiyah dengan
lama belajar 3 tahun
4. Madrasah Mu’allimin Wustha
2 tahun
5. Madrasah Mu’allimin “Ulya
3 tahun.[7]
Kurikulum yang menjadi acuan pengajaran di
madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus menurut ketentuan PB NU bagian –
bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’arif.
Perjalanan selanjutnya setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dimana NU tampil ke muka
dengan resolusi jihad nya, tanggal 22 Oktober 1945. Isinya mengajak ummat islam
untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi
tersebut bahwa berjihad hukumnya fardhu ain. Kenyataannya hal ini mendapat
sambutan yang baik dari kalangan umat Islam.
Dalam rangka memperkuat posisi dan perjuangan
ummat Islam, maka pada kongres ummat islam di Yogyakartatanggal 7 November 1945
diambil keputusan, dimana Masyumi(Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang kita
ketahui sebagai pengganti MIAI, dijelmakan menjadi partai politik islam di
Indonesia. Dalam pada itu, NU sendiri menjadi anggota istimewa dalam Masyumi
dan pimpinannya juga (KH, Hasyim Asy’ari) menjadi ketua pada Masyumi. Masyumi
merupakan badan federasi pergerakan ummat Islam dan berusaha dalam rangka
perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Masyumi bekerjasama dengan
tokoh-tokoh nasionalis yang bergabung dalam Tiga A.
Pada kongres NU tahun 1946. NU menganjurkan
kepada anggotanya agar memasuki Masyumi, sehingga NU merupakan tulang punggung
masyumi. Keadaan tersebut berjalan beberapa tahun lamanya, sehingga Masyumi
merupakan satu-satunya partai politik islamdisamping partai-partai yang lain.
Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah PSII keluar dari Masyumi, NU pun
lewat kongres nya di Palembang pada tanggal 26 April 1952juga keluar dari
masyumi dan berdiri sendirisebagai partai politikdengan perubahan AD/ART.
Dengan demikian NU menjelma menjadi partai
politik, dan sejak itu usaha NU tidak hanya memelihara madrasah-madrasah,
mengadakan pengajian-pengajian dan tabligh, tetapi juga memperjuangkan
cita-cita politiknyadengan cara turut serta dalam pemerintahan dan dewan-dewan
perwakilan rakyatdari pusant hingga ke daerah-daerah.
Begitulah perjalanannya NU dalam historynya,
yang pada mulanya dibentuk bukan untuk berpolitik, namun dikarenakan kondisi
pada waktu itu, memaksa NU untuk terjun ke panggung politik, sampai dengan
difusikannya partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
yang membuat NU kembali pada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan
denga semboyan “Kembali kepada Jiwa 1926”.
Dewasa ini NU bergerak dibidang sosial dan
pendidikan agama menurut paham yang diyakini
yaitu Ahlussunah Waljama’ah.Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai
banyak eskali Pondok pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh pelosok
tanah air,terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka menpunyai
tradisi keagamaan yang sangt kuat.Disamping itu NU juga mempunyai
sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal
ini NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu disebut Ma’arif,
dimana tugasnya adalah membuat perundangan dan progam pendidikan di
lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dubawah naungan NU.
Berdasarkan hasil rapat
kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada tahun 1078, disebutkan tentang
program-program kerja Ma’arif tahun 1978, disebutkan tentang program-program
kerja ma’arif, antara lain:
1.
Pemantapan
sistem pendidikan Ma’arif meliputi:
a.
Tujuan
pendidikan Ma’arif
1)
Menumbuhkan
jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi
anak didik sesuai ajaran Ahlussunah Waljama’ah
2)
Menanamkan
sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih
baik, ketrampilan menggunakan ilmu dan tekhnologi,uang kesemuanya adalah
perwujudan pengabdian diri kepada Allah.
3)
Menciptakan
sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai
sebuah kesatuan.
4)
Menanamkan
penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama islam yang dinamis.
b.
Penataan
kembali orientasi pendidikan ma’arif dari orientasi pencapaian pengetahuan
scholastik yang diakhiri dengan pemberian ijazah, ke orientasi kemampuan
melakukan kerja nyata dibidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
c.
Mengkaitkan
pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum,
lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya.
d.
Mengembangkan
watak kultural ke-NU-an
e.
Secara
makro,memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non formal.
2.
Peningkatan
organisasi Ma’arif
3.
Penyediaan
data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif
4.
Penerbitan
5.
Peningkatan
guru Ma’arif[8]
Usaha-usaha
NU dibidang pendidikan Islam memang cukup menggembirakan.NU mempunyai banyak
pondok pesantren dan madrasah yang terbesar di seluruh pelosok tanah air,
terutama di daerah pedesaan pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan
yang kuat. Disamping itu juga NU memiliki sekolah-sekolah umum dari tingkat
Taman Kanak-kanak(TK) samping Perguruaan Tinggi(PT).
Berdasarkan data tahun 1981 ,
jumlah lembaga pendidikan yang dikelola NU ini adalah sebagai berikut:
1. Pondok Pesantren 3.745 buah
2. Madrasah 18.938 buah
3. Sekolah Umum 3.102 buah[9]
Dari data tersebut belum termasuk perguruan
tingginya,dan untuk pesantren pun yang tercatat hanya di Jawa. Padahal tidak
sedikit pesantren-pesantren NU yang berada di luar pulau Jawa.Sedangkan untuk
kondisi tentu saja lembaga-lembaga pendidikan NU ini terus bertambah.
E. Format
Pendidikan NU Masa Depan
Secara historis gerakan ilmiah Islam (pendidikan Islam) di Indonesia
banyak dipengaruhi oleh politik halus kolonial Belanda, yang telah berhasil
menyudutkan kaum muslimin ke suatu sudut pandang yang hanya menekankan pada
kehidupan ukhrawi. Akibatnya dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumus
syari’ah dan tasawwuf. Sedangkan bidang-bidang lainnya mengalami
stagnasi karena ada anggapan bahwa ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi.
Dengan adanya anggapan semacam itu, maka mengakibatkan lemahnya dinamika
pendidikan Islam, termasuk di lingkungan NU. Lembaga-lembaga pendidikan di
lingkungan NU terkadang belum dikelola secara professional, baik dalam
ketenagaan, maupun managemen. Antara lembaga pendidikan satu dengan yang
lainnya belum ada kesamaan visi yang jelas.
Sebagian besar lembaga pendidikan di NU dalam melakukan pengembangannya
berjalan tanpa arah yang jelas, belum ada sistem dan kurikulum yang baku, belum
ada persamaan orientasi dan visi. Karena pengelolaan pendidikan di lingkungan
NU biasanya dikelola dari bawah. Karena itu sudah saatnya penanganan managemen
pendidikan NU dikelola secara profesional, dan peningkatan mutu serta sarana
fasilitas yang memadai.
Penanganan secara profesional dalam bidang managemen sudah saatnya harus
diterapkan di semua lembaga pendidikan yang berlangsung di NU baik di
pesantren, Madrasah maupun sekolah.
Modernisasi atau pembaharuan yang dilaksanakan di pesantren hendaknya
mencakup ke berbagai aspek : managemen, kurikulum, metode pengajaran,
ketenangan dan lain-lain. Madrasah juga perlu melakukan pembenahan-pembenahan
di semua bidang termasuk mengantisipasi kemajuan bidang ilmu dan teknologi
memasuki milenium ketiga.[1][13]
Di lingkungan NU hendaknya sudah saatnya memajukan semua lembaga
pendidikan yang dikelolanya, baik di bidang pesantren, madrasah maupun sekolah.
Sebagai organisasi sosial keagamaan yang cukup besasr NU memiliki potensi besar
dan membangun kualitas dan sumber daya manusia. akan tetapi dalam bidang ini
harus diakui bahwa pendidikan formal di lingkungan NU tertinggal dengan
pendidikan di lingkungan Muhammadiyah misalnya.
Pendidikan formal NU – khususnya yang berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional perlu mendapat penanganan yang lebih serius agar lebih
baik. Memang sudah ada beberapa Perguruan Tinggi NU yang berkualitas antara
lain : UNISMA Malang, UNDAR Jombang, UNSURI Surabaya, akan tetapi dibandingkan
dengan kuantitas warga NU yang cukup banyak maka belum seimbang.
Dan yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pendidikan di lingkungan
NU harus mampu mengantisipasi perubahan orientasi masyarakat. Pendidikan NU
harus mengembangkan wawasan yang lebih luas lagi tidak hanya semata-mata
beroriientasi agama (religious oriented) saja, melainkan perlu menambah
orientasi pasar (marketing oriented) agar pendidikan di NU tidak
ditinggalkan masyarakat, dengan jalan membuka sekolah-sekolah kejuruan yang
siap pakai misalnya bidang-bidang keperawatan, kedokteran, pertanian,
tekonologi, ekonomi, hukum.
Disamping tetap mengembangkan nilai-nilai moralitas dan relegiousitas
yang tinggi sebagai ciri NU, yaitu dengan mengacu pada kaidah : Al-Mahafadzatu
‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Memepertahankan
tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Dengan demikian diharapkan format pendidikan di lingkungan NU, disamping
menyiapkan kader-kader di bidang agama (moralitas) juga menyiapkan
tenaga-tenaga siap pakai di berbagai bidang untuk menjawab tuntutan zaman yang
dibutuhkan masyarakat. Sehingga pendidikan NU tidak ditinggalkan masyarakat
tetapi malah dicari masyarakat karena kontribusinya yang besar terhadap
masyarakat.
F. Problem Teologi
Politik NU
Nahdlatul Ulama
bisa dipahami sebagai jami’iyyah atau gerakan sosial
yang sulit dipisahkan dari dinamika politik nasional. Organisasi dengan basis
komunitas santri terbesar tersebut menyebabkan aktivisnya seringkali terlibat
dalam kegiatan politik. Tujuan kenegaraan hingga partai politik hampir tidak
mungkin mengabaikan kekuatan dan jaringan sosial jami’iyyah ini. Dinamika NU
seperti sebuah perahu yang mendayung diantara dua pulau,yaitu sebagai gerakan
sosial dan aura politik yang melekat padanya. Karena itu masa depan NU
ditentukan kemampuannya menggunakan biduk secara tepat ditengah gelombang
politik nasional dan tuntutan sosial sebagai konsekuensi gerakan sosial.
Persoalan serupa juga dihadapi
Muhammaddiyyah yang lahir lebih dulu dan gerakan islam lainnya. Sementara
tradisi islam sebagai referensi gerakan islam memiliki kekayaan teologis
politik, tidak mudah bagi aktifis gerakan islam untuk benar-benar tidak
bersentuhan dengan dunia politik. Lebih rumit lagi ketika tradisi islam dengan
teologi politiknya tersebut seringkali dipahami dalam kesatuan dengan
nilai-nilai sakral ketuhanan.
Hubungan kegiatan sosial dan kegiatan
politik (kekuasaan atau kenegaraan) berkelindan sedemikian dalam sistem hukum
islam (syari’ah atau fiqh). Disinilah mengapa persoalan sosial hampir selalu
bermuara pada persoalan
politik, dan sebaliknya. Selanjutnya hubungan berkelindan keduanya bermuara
pada problem teologi, dan sebaliknya. Hal ini dengan mudah bisa dilihat dalam
berbagai kasus sosial dan politik nasional di sepanjang sejarah
Republik ini, lebih khusus lagi posisi Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke
empat.
Berbagai persoalan tersebut diatas,
tidak mudah dijernihkan tatkala warga Nahdliyyin tidak bersedia melihat
pengalaman pahit dalam dunia politik. Hal ini antara lain bisa dilihat ketika
elite kharismatiknya, Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden pada Sidang Istimewa MPR Agustus 2001. Dengan meletakkan
persoalan sosial (jami’iyah) dan politik disatu sisi lain sebagai masalah
rasional yang profan, beberapa problem sosial, politik dan praktik keagamaan
tersebut bisa dijernihkan. Tanpa harus menolak ide dan gagasan kharismatik,
berbagai kepentingan komunitas NU atau Muhammadiyah dan gerakan islam lainnya
bisa dipahami sebagai hasil interaksi sosial-politik dan ekonomi yang berada
pada aras profan yang akan terus berubah secara dinamis.
Gerakan sosial islam hamper selalu gagal membebaskan diri dari gerakan
politik. Gejala ini bisa dilihat dari berbagai pemaknaan baru kegiatan murni
ritual seperti istighosah atau semi ritual seperti pengajian atau tabligh. Pada
tanggal 29 April 2001, NU memobilisasi massa umat dengan menyelenggarakan
istighosah di Jakarta. Salah satu tujuan terpenting dari kegiatan ini ialah
mempertahankan atau membela Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dengan sebuah
argument bukan karena ia presiden, melainkan sebagai ulama yang sangat
dihormati terutama oleh warga Nahdliyyin. Sebuah penghormatan yang tidak
semata-mata bersifat sosial atau politik,melainkan penghormatan yang dipenuhi
aura teologis sepanjang keyakinan warga NU. Namun, argumen itu sama sekali
tidak menepis dampak dan fakta politiknya, baik ia merupakan tujuan yang
diharapkan secara sengaja ataupun tidak langsung.
Gejala serupa
juga muncul dikalangan komunitas Muhammadiyah. Gerakan Islam yang populer
dengan sebutan modernis ini secara formal terus menyatakan tidak mempunyai
hubungan organisatoris dengan semua partai politik, khususnya Partai Amanat
Nasional(PAN). Namun, banyak pemimpin teras aktivis gerakan ini aktif dalam
partai politik, terutama PAN, yang didirikan oleh mantan ketuanya Amien Rais.
Kenyataann ini tidak gugur dengan menyatakan bahwa aktivis gerakan ini bekerja
dengan memakai otak dalam memperjuangkan kepentingan politiknya tanpa harus
membuat Pasukan Berani Mati (PBM) seperti pernah dilakukan warga
Nahdlayyin tahun 2001 lalu.
Fakta-fakta di
atas busa berarti ketergantungan gerakan Islam atas keberadaan dan peran Negara
di tengah meluasnya ide masyarakat sipil atau madani . Padahal,gagasan
masyarakat madani mengandaikan semakin pentingnya kemandirian warga atas
keberadaan dan peran Negara yang semakin memudar. Ironisnya, banyak eliet
nasional dan daerah dari Muhammadiyah dan NU yang berada pada posisi politik
puncak. Keduanya hampir mustahil bebas persoalan polotik praktia dan segala
konflik praktis dan segala konflik yang menyertainya.
Karena itu, NU
dan Muhammadiyah akan terus menghadapi
pilihan-pilihan poilitik yang tidak mudah, justru setelah NU memantapkan diri
sebagai gerakan menghadapi dengan pilihan-pilihan politik yang tidak mudah,
justru setelah NU memantapkan diri sebagai gerakan sosial
dengan kembali ke khittah 1926 seperti yang sejak awal dilakukan oleh
Muhammaddiyah. Tesis perkembangan masyarakat sipil di Indonesia yang banyak
dihubungkan dengan keberadaan gerakan islam, perlu dikoreksi ketika gerakan ini
sering terlibat kegiatan politik praktis dan ketika memliliki ketergantungan tinggi
terhadap praktik kenegaraan. Suatu gejala yang sebenarnya sudah muncul sejak
awal kemerdekaan tahun 1945. [10]
[3] Ahmad
Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Dunia Islam, (Bandung : Cv. Pustaka Setia, 1997), 133
[8] Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Proyek pembinaan dan sarana
Perguruan Tinggi Departemen Agama RI,(Jakarta: 1986), 127.
[9] PB NU, Program Dasar Pembangunan NU 1979-1983 Dalam rancangan Materi
Muktamar NU ke-26, 109.
[10] Ridwan, Paradigma Politik NU, v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar