Jumat, 10 Januari 2014

NAHDLATUI ULAMA


A.    Sekitar Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama”Nahdlatoel Oelama (NO) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang sering kali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Waljama’ah yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan ummat islam Indonesia, dan berusaha mempertahankan salah satu dari 4 madzab dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh, Madzab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali. Sedangkan dalam i’tiqat  NU berpegang dalam aliran Ahlussunnah Waljama’ah.sebagai ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya.[1]
Pada mulanya NU merupakan organisasi yang lahir dan tumbuh pada masa menghebatnya perjuangan pergerakan nasional, maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang berisi dan berjiwa pergerakan anti penjajahan, atau terlibat dalam bidang politik diantaranya:
1.      Menolak subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolak kerja rodi yang dibebankan kepada bangsa Indonesia.
2.      Menolak rencana ordonansi perkawinan tercatat.
3.      Menolak diadakan milisi
4.      Mendukung tuntutan berparlemen
5.      Mengadakan usaha-usaha sosial dalam masyarakat.
6.      Mendidik mental beragama diantaranya mendirikan pondok pesantren.
Motivasi utama berdirinya NU adalah untuk mengorganisasikan potensi dan peranan ulama pesantren yang sudah ada,untuk ditingkatkan dan dikembangkan secara luas yang bagi NU digunakan sebagai waddah untuk mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren didalam tugas pengabdian yang tidak terbatas kepada masalah kepesantrenan dan kegiatan ritual islam saja, tetapi lebih ditingkatkan lagi agar para ulam lebih peka terhadap masalah –masalah sosial, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan pada umumnya.[2] Adapun para ulama pendiri NU, antara lain :
1.      K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
2.      K.H. Abdul Wahab Hasbullah
3.      K.H. Bisri Jombang
4.      K.H. Ridwan Semarang
5.      K.H. Nawawi Pasuruan
6.      K.H. Asnawi Kudus
7.      K.H.R. Hambali Kudus
8.      K. Nakhrawi Malang
9.      K.H. Doromuntaha Bangkalan.
10.  K.H. M. Awi Abdul Aziz
11.  Dan lain-lain[3]
B.     Latar Belakang Lahir dan Perkambangan Nahdlatul Ulama
Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jami’iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) secara tepat belumlah cukup dengan hanya melihat dari sudut formal semenjak ia lahir berikut pertumbuhan dan perkembangannya hingga dewasa ini. sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jami’iyyah (organisasi), ia lebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri.
Lahirnya jami’iyyah NU tidak ubahnya mewadahi barang yang sudah ada. Dengan kata lain, mewujudkan NU sebagai organisasi hanyalah sebagai penegasan formal dari mekanisme informal para ulama pemegang teguh salah satu dari madzab fiqh yang empat. Yang sudah berjalan jauh dari sebelum lahirnya NU.[4] Arti penting lahirnya NU ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama untuk menjaga eksistensi jama’ah tradisional terutama ketika haarus berhadapan dengan gerakan pembaharuan yang ketika itu telah terlembagakan antara lain dalam Muhammadiyah.[5]
Dari sekian literature yang berkaitan dengan latar belakang sejarah berdirinya NU, pada umunya menunjukkan warna yang sama, yakni reaksi atas perkembangan modernisme islam yang tarik menarik antara perkembangan politik di Timur Tengah dengan dinamika perkembangan islam di tanah air.
C.     Tujuan dan Usaha
Sebelum menjadi partai politik, NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari mazhab imam yang berempat, yaitu : Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi , dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam
Untuk mencapai tujuan tersebut diusahakn hal-hal sebagai berikut :
1.      Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzab tersebut diatas
2.      Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar
3.      Menyiarkan agama islam berasaskanpada mazhab-mazhab yang berdasarkan agama islam
4.      Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid , surau, pondok begitu juga dengan hal ihwal anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
5.      Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama islam.
6.      Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama islam
Berdasarkan usaha-usaha tersebut diatas tampaknya pada mulanya NU merupak perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran islam. oleh sebab itu NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Setelah menjadi partai politik Mei 1952 yang dituangkan ke dalam Anggaran Dasarnya yang baru dimana NU bertujuan:
1.      Menegakkan syariat islamdengan berhaluan salah satu dari pada empat mazhab
2.      Melaksanakan berlakunya hukum-hukum islam dalam masyarakat
Dari tujuan tersebut, tampaknya NU masi mempertahankan ciri khasnya yaitu memegang teguh kepada mazhab-mazhab fiqh dalam rangka menegakkan syariat islam. hanya pada tujuan kedua yang tampaknya lebih bersifat politis.Untuk mencapai tujuan tersebut diadakanlah usaha-usaha antara lain dengan jalan :
1.      Menyiarkan agama islam melalui tabligh-tabligh, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan
2.      Mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran islam[6]
D.    Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terkebelakang dikarenakan kurangnya pendidikan yang memadai, dan untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlak yang mulia, maka NU sebagai organisasi social keagamaan yang lahirnya dari pesantren mencoba untuk memajukan masyarakat melewati jalur pendidikan.
Tidaklah mengherankan apabila dengan kehadiran pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk menjadi dua fungsi yaitu ulama dan politisi. Beberapa ulam dan politisi direkrut dari pesantren-pesantren baik untuk kepengurusan NU di tingkat local maupun pusat.
Santri-santri tamatan pesantren pada umunya mengikuti jejak politik para ulamanya yang mana perkembangan pesantren tersebut terus maju. Dibeberapa pesantren selain mengajarkan pendidikan model lama, juga mendirikan sekolah-sekolah agama, misalnya: madrasah ibtidaiyah, Mts dan MA serta sekolah-sekolah umum yang didirikan NU, yang berfungsi menjadi benteng furifikasi ajaran ahlussunnah waljamaahpraktis hanyalah mata pelajaran agama.
Selanjutnya sekitar akhir tahun 1938 (1356 H),komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H.
Adapun susunan madrasah-madrasah NU, tersebut adalah :
1.      Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
2.      Madrasah Ibtidaiyah dengan lama belajar 3 tahun
3.      Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun
4.      Madrasah Mu’allimin Wustha 2 tahun
5.      Madrasah Mu’allimin “Ulya 3 tahun.[7]
Kurikulum yang menjadi acuan pengajaran di madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus menurut ketentuan PB NU bagian – bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’arif.
Perjalanan selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, dimana NU tampil ke muka dengan resolusi jihad nya, tanggal 22 Oktober 1945. Isinya mengajak ummat islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi tersebut bahwa berjihad hukumnya fardhu ain. Kenyataannya hal ini mendapat sambutan yang baik dari kalangan umat Islam.
Dalam rangka memperkuat posisi dan perjuangan ummat Islam, maka pada kongres ummat islam di Yogyakartatanggal 7 November 1945 diambil keputusan, dimana Masyumi(Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang kita ketahui sebagai pengganti MIAI, dijelmakan menjadi partai politik islam di Indonesia. Dalam pada itu, NU sendiri menjadi anggota istimewa dalam Masyumi dan pimpinannya juga (KH, Hasyim Asy’ari) menjadi ketua pada Masyumi. Masyumi merupakan badan federasi pergerakan ummat Islam dan berusaha dalam rangka perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Masyumi bekerjasama dengan tokoh-tokoh nasionalis yang bergabung dalam Tiga A.
Pada kongres NU tahun 1946. NU menganjurkan kepada anggotanya agar memasuki Masyumi, sehingga NU merupakan tulang punggung masyumi. Keadaan tersebut berjalan beberapa tahun lamanya, sehingga Masyumi merupakan satu-satunya partai politik islamdisamping partai-partai yang lain. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah PSII keluar dari Masyumi, NU pun lewat kongres nya di Palembang pada tanggal 26 April 1952juga keluar dari masyumi dan berdiri sendirisebagai partai politikdengan perubahan AD/ART.
Dengan demikian NU menjelma menjadi partai politik, dan sejak itu usaha NU tidak hanya memelihara madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian dan tabligh, tetapi juga memperjuangkan cita-cita politiknyadengan cara turut serta dalam pemerintahan dan dewan-dewan perwakilan rakyatdari pusant hingga ke daerah-daerah.
Begitulah perjalanannya NU dalam historynya, yang pada mulanya dibentuk bukan untuk berpolitik, namun dikarenakan kondisi pada waktu itu, memaksa NU untuk terjun ke panggung politik, sampai dengan difusikannya partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang membuat NU kembali pada fungsinya semula sebagai gerakan sosial keagamaan denga semboyan “Kembali kepada Jiwa 1926”.
Dewasa ini NU bergerak dibidang sosial dan pendidikan agama menurut paham yang diyakini  yaitu Ahlussunah Waljama’ah.Dengan usaha-usaha ini, maka NU mempunyai banyak eskali Pondok pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air,terutama di daerah-daerah pedesaan yang pada umumnya mereka menpunyai tradisi keagamaan yang sangt kuat.Disamping itu NU juga mempunyai sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya yaitu disebut Ma’arif, dimana tugasnya adalah membuat perundangan dan progam pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada dubawah naungan NU.
Berdasarkan hasil rapat kerja Ma’arif yang diselenggarakan pada tahun 1078, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja ma’arif, antara lain:
1.      Pemantapan sistem pendidikan Ma’arif meliputi:
a.       Tujuan pendidikan Ma’arif
1)      Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai ajaran Ahlussunah Waljama’ah
2)      Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak untuk lebih baik, ketrampilan menggunakan ilmu dan tekhnologi,uang kesemuanya adalah perwujudan pengabdian diri kepada Allah.
3)      Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan.
4)      Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama islam yang dinamis.
b.      Penataan kembali orientasi pendidikan ma’arif dari orientasi pencapaian pengetahuan scholastik yang diakhiri dengan pemberian ijazah, ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata dibidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
c.       Mengkaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan sebagainya.
d.      Mengembangkan watak kultural ke-NU-an
e.       Secara makro,memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non formal.
2.      Peningkatan organisasi Ma’arif
3.      Penyediaan data dan informasi tentang sekolah-sekolah Ma’arif
4.      Penerbitan
5.      Peningkatan guru Ma’arif[8]
Usaha-usaha NU dibidang pendidikan Islam memang cukup menggembirakan.NU mempunyai banyak pondok pesantren dan madrasah yang terbesar di seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah pedesaan pada umumnya mereka mempunyai tradisi keagamaan yang kuat. Disamping itu juga NU memiliki sekolah-sekolah umum dari tingkat Taman Kanak-kanak(TK) samping Perguruaan Tinggi(PT).
Berdasarkan data tahun 1981 , jumlah lembaga pendidikan yang dikelola NU ini adalah sebagai berikut:
1.      Pondok Pesantren             3.745 buah
2.      Madrasah                          18.938 buah
3.      Sekolah Umum                 3.102 buah[9]
Dari data tersebut belum termasuk perguruan tingginya,dan untuk pesantren pun yang tercatat hanya di Jawa. Padahal tidak sedikit pesantren-pesantren NU yang berada di luar pulau Jawa.Sedangkan untuk kondisi tentu saja lembaga-lembaga pendidikan NU ini terus bertambah.
E.     Format Pendidikan NU Masa Depan
Secara historis gerakan ilmiah Islam (pendidikan Islam) di Indonesia banyak dipengaruhi oleh politik halus kolonial Belanda, yang telah berhasil menyudutkan kaum muslimin ke suatu sudut pandang yang hanya menekankan pada kehidupan ukhrawi. Akibatnya dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumus syari’ah dan tasawwuf. Sedangkan bidang-bidang lainnya mengalami stagnasi karena ada anggapan bahwa ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi.
Dengan adanya anggapan semacam itu, maka mengakibatkan lemahnya dinamika pendidikan Islam, termasuk di lingkungan NU. Lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU terkadang belum dikelola secara professional, baik dalam ketenagaan, maupun managemen. Antara lembaga pendidikan satu dengan yang lainnya belum ada kesamaan visi yang jelas.
Sebagian besar lembaga pendidikan di NU dalam melakukan pengembangannya berjalan tanpa arah yang jelas, belum ada sistem dan kurikulum yang baku, belum ada persamaan orientasi dan visi. Karena pengelolaan pendidikan di lingkungan NU biasanya dikelola dari bawah. Karena itu sudah saatnya penanganan managemen pendidikan NU dikelola secara profesional, dan peningkatan mutu serta sarana fasilitas yang memadai.
Penanganan secara profesional dalam bidang managemen sudah saatnya harus diterapkan di semua lembaga pendidikan yang berlangsung di NU baik di pesantren, Madrasah maupun sekolah.
Modernisasi atau pembaharuan yang dilaksanakan di pesantren hendaknya mencakup ke berbagai aspek : managemen, kurikulum, metode pengajaran, ketenangan dan lain-lain. Madrasah juga perlu melakukan pembenahan-pembenahan di semua bidang termasuk mengantisipasi kemajuan bidang ilmu dan teknologi memasuki milenium ketiga.[1][13]
Di lingkungan NU hendaknya sudah saatnya memajukan semua lembaga pendidikan yang dikelolanya, baik di bidang pesantren, madrasah maupun sekolah. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang cukup besasr NU memiliki potensi besar dan membangun kualitas dan sumber daya manusia. akan tetapi dalam bidang ini harus diakui bahwa pendidikan formal di lingkungan NU tertinggal dengan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah misalnya.
Pendidikan formal NU – khususnya yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional perlu mendapat penanganan yang lebih serius agar lebih baik. Memang sudah ada beberapa Perguruan Tinggi NU yang berkualitas antara lain : UNISMA Malang, UNDAR Jombang, UNSURI Surabaya, akan tetapi dibandingkan dengan kuantitas warga NU yang cukup banyak maka belum seimbang.
Dan yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pendidikan di lingkungan NU harus mampu mengantisipasi perubahan orientasi masyarakat. Pendidikan NU harus mengembangkan wawasan yang lebih luas lagi tidak hanya semata-mata beroriientasi agama (religious oriented) saja, melainkan perlu menambah orientasi pasar (marketing oriented) agar pendidikan di NU tidak ditinggalkan masyarakat, dengan jalan membuka sekolah-sekolah kejuruan yang siap pakai misalnya bidang-bidang keperawatan, kedokteran, pertanian, tekonologi, ekonomi, hukum.
Disamping tetap mengembangkan nilai-nilai moralitas dan relegiousitas yang tinggi sebagai ciri NU, yaitu dengan mengacu pada kaidah : Al-Mahafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Memepertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Dengan demikian diharapkan format pendidikan di lingkungan NU, disamping menyiapkan kader-kader di bidang agama (moralitas) juga menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai di berbagai bidang untuk menjawab tuntutan zaman yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga pendidikan NU tidak ditinggalkan masyarakat tetapi malah dicari masyarakat karena kontribusinya yang besar terhadap masyarakat.
F.      Problem Teologi Politik NU
Nahdlatul Ulama bisa dipahami sebagai jami’iyyah atau gerakan sosial yang sulit dipisahkan dari dinamika politik nasional. Organisasi dengan basis komunitas santri terbesar tersebut menyebabkan aktivisnya seringkali terlibat dalam kegiatan politik. Tujuan kenegaraan hingga partai politik hampir tidak mungkin mengabaikan kekuatan dan jaringan sosial jami’iyyah ini. Dinamika NU seperti sebuah perahu yang mendayung diantara dua pulau,yaitu sebagai gerakan sosial dan aura politik yang melekat padanya. Karena itu masa depan NU ditentukan kemampuannya menggunakan biduk secara tepat ditengah gelombang politik nasional dan tuntutan sosial sebagai konsekuensi gerakan sosial.
Persoalan serupa juga dihadapi Muhammaddiyyah yang lahir lebih dulu dan gerakan islam lainnya. Sementara tradisi islam sebagai referensi gerakan islam memiliki kekayaan teologis politik, tidak mudah bagi aktifis gerakan islam untuk benar-benar tidak bersentuhan dengan dunia politik. Lebih rumit lagi ketika tradisi islam dengan teologi politiknya tersebut seringkali dipahami dalam kesatuan dengan nilai-nilai sakral ketuhanan.
Hubungan kegiatan sosial dan kegiatan politik (kekuasaan atau kenegaraan) berkelindan sedemikian dalam sistem hukum islam (syari’ah atau fiqh). Disinilah mengapa persoalan sosial hampir selalu bermuara pada persoalan politik, dan sebaliknya. Selanjutnya hubungan berkelindan keduanya bermuara pada problem teologi, dan sebaliknya. Hal ini dengan mudah bisa dilihat dalam berbagai kasus sosial dan politik nasional di sepanjang sejarah Republik ini, lebih khusus lagi posisi Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI ke empat.
Berbagai persoalan tersebut diatas, tidak mudah dijernihkan tatkala warga Nahdliyyin tidak bersedia melihat pengalaman pahit dalam dunia politik. Hal ini antara lain bisa dilihat ketika elite kharismatiknya, Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden pada Sidang  Istimewa MPR Agustus 2001. Dengan meletakkan persoalan sosial (jami’iyah) dan politik disatu sisi lain sebagai masalah rasional yang profan, beberapa problem sosial, politik dan praktik keagamaan tersebut bisa dijernihkan. Tanpa harus menolak ide dan gagasan kharismatik, berbagai kepentingan komunitas NU atau Muhammadiyah dan gerakan islam lainnya bisa dipahami sebagai hasil interaksi sosial-politik dan ekonomi yang berada pada aras profan yang akan terus berubah secara dinamis.
Gerakan sosial islam hamper selalu gagal membebaskan diri dari gerakan politik. Gejala ini bisa dilihat dari berbagai pemaknaan baru kegiatan murni ritual seperti istighosah atau semi ritual seperti pengajian atau tabligh. Pada tanggal 29 April 2001, NU memobilisasi massa umat dengan menyelenggarakan istighosah di Jakarta. Salah satu tujuan terpenting dari kegiatan ini ialah mempertahankan atau membela Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dengan sebuah argument bukan karena ia presiden, melainkan sebagai ulama yang sangat dihormati terutama oleh warga Nahdliyyin. Sebuah penghormatan yang tidak semata-mata bersifat sosial atau politik,melainkan penghormatan yang dipenuhi aura teologis sepanjang keyakinan warga NU. Namun, argumen itu sama sekali tidak menepis dampak dan fakta politiknya, baik ia merupakan tujuan yang diharapkan secara sengaja ataupun tidak langsung.
Gejala serupa juga muncul dikalangan komunitas Muhammadiyah. Gerakan Islam yang populer dengan sebutan modernis ini secara formal terus menyatakan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan semua partai politik, khususnya Partai Amanat Nasional(PAN). Namun, banyak pemimpin teras aktivis gerakan ini aktif dalam partai politik, terutama PAN, yang didirikan oleh mantan ketuanya Amien Rais. Kenyataann ini tidak gugur dengan menyatakan bahwa aktivis gerakan ini bekerja dengan memakai otak dalam memperjuangkan kepentingan politiknya tanpa harus membuat Pasukan Berani Mati (PBM) seperti pernah dilakukan warga Nahdlayyin  tahun 2001 lalu.
Fakta-fakta di atas busa berarti ketergantungan gerakan Islam atas keberadaan dan peran Negara di tengah meluasnya ide masyarakat sipil atau madani . Padahal,gagasan masyarakat madani mengandaikan semakin pentingnya kemandirian warga atas keberadaan dan peran Negara yang semakin memudar. Ironisnya, banyak eliet nasional dan daerah dari Muhammadiyah dan NU yang berada pada posisi politik puncak. Keduanya hampir mustahil bebas persoalan polotik praktia dan segala konflik praktis dan segala konflik yang menyertainya.  
Karena itu, NU dan Muhammadiyah  akan terus menghadapi pilihan-pilihan poilitik yang tidak mudah, justru setelah NU memantapkan diri sebagai gerakan menghadapi dengan pilihan-pilihan politik yang tidak mudah, justru setelah NU memantapkan diri sebagai gerakan sosial dengan kembali ke khittah 1926 seperti yang sejak awal dilakukan oleh Muhammaddiyah. Tesis perkembangan masyarakat sipil di Indonesia yang banyak dihubungkan dengan keberadaan gerakan islam, perlu dikoreksi ketika gerakan ini sering terlibat kegiatan politik praktis dan ketika memliliki ketergantungan tinggi terhadap praktik kenegaraan. Suatu gejala yang sebenarnya sudah muncul sejak awal kemerdekaan tahun 1945. [10]


[1] Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985),135.
[2] Moh. Rifa’I, Sejarah Islam,( Semarang: Wicaksana, 1985), 181.
[3] Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Dunia Islam, (Bandung : Cv. Pustaka Setia, 1997), 133
[4] Ridwan, Paradigma Politi NU,(Purwokerto,Stain Purwokerto Press: 2004),169
[5] A. Ghaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam,(Yogyakarta: LKiS,1995),47
[6] I. Djumhur, Sejarah Pendidikan,(Cv Ilmu: Bandung. 1979), hlm.186.
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Hidakarya Agung: Jakarta, 1985), hlm 242.
[8] Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Proyek pembinaan dan sarana Perguruan Tinggi Departemen Agama RI,(Jakarta: 1986), 127.
[9] PB NU, Program Dasar Pembangunan NU 1979-1983 Dalam rancangan Materi Muktamar NU ke-26, 109.
[10] Ridwan, Paradigma Politik NU, v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar