و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ
وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ
أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ
عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا
فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
صحيح
مسلم , كتاب الإيمان,باب قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله تعالى عليه وسلم - « مَنْ
غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ».
Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan
Qutaibah serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata,
telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku
al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau
menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai
pemilik makanan?" sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena
air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak
meletakkan bagian yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa
yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).
A.
STATUS HADIS
1.
Segi Kualitas
Hadits ini tergolong hadits shahih, karena sanadnya marfu’
(bersambung sampai kepada Rasulullah) dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Hurairah. Hadis dengan matan yang sama maksudnya, sekalipun berbeda
lafalnya. Di riwayatkan pula oleh dalam Sunan-nya no.
1315, Kitab Al-Buyu’, bab Ma Ja`a fi Karahiyatil Ghisy fil Buyu’, dan selainnya.
Dalam riwayat Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 3452, Kitab Al-Buyu’, bab An-Nahyu ‘anil Ghisy disebutkan
dengan lafadz:
“Rasulullah SAW melewati
seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual
tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada
beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam
tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya,
ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka
Rasulullah n bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.”
(Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih
At-Targhib wat Tarhib no. 1765).[1]
2.
Segi kuantitas
Hadits serupa juga diriwayatkan dari Umar, Abu Al Hamra`,
Ibnu Abbas, Abu Burdah bin Niyar dan Hudzaifah bin Al Yaman. Abu Isa berkata;
Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut
para ulama. Syeh Albani juga berkomentar bahwa hadist ini juga berstatus shahih.
Perawi-perawi nya ialah
Yahya bin Ayyub,Qutaibah Ibnu Hujr, Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub, Ismail ,
al-Ala' , Abu Hurairahialah Abu Isa berkata dalam Sunan At-Tirmidzi:
"Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan sebagian ahli ilmu beramal dengan
hadits ini.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu
Abbas dan Watsilah bin Al Asqa'. Syekh Al-Albani dalam Sunan an-Nasa’i
memberikan status shahih pada hadits ini.
3.
Dalam
software mausu’at al hadits al sharif: al-Kutub al -Tis’ah, sanad hadits di
atas bersambung kepada Rasulullah dan perawi-perawinya memiliki tingkatan ثقة atau ثبت
(terpercaya/teguh).
B.
REDAKSI KATA HADIS
1. غَشَّ: (Ghisy) berarti menipu atau curang. Kata ini tentu
bermakna sangat umum, sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan
dalam akad jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah
lainnya. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Rasulullah SAW
sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah diatas.
2. مَنْ
غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي: ”Siapa yang menipu maka ia bukan
dariku”. Dalam lafadz lain disebutkan dengan lafadz:
مَنْ
غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ: “Barangsiapa yang berbuat
curang kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan
itu di neraka.”
“Rasulullah SAW, melewati seseorang yang sedang berjualan
makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau
berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan
kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual
pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian
bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bukan
termasuk golongan kami orang yang menipu.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani
dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu
Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَمَلَ
عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا“Barangsiapa yang mengarah
senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang
menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)
Dari Tamim bin Aus
Ad-Dari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah
nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di
antara mereka.” (HR. Muslim no. 55)
3. Dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits disebutkan makna lafadz adalah
bukan termasuk akhlak kami, bukan pula sunnah kami. Al-Imam An-Nawawi t
menyebutkan bahwa ada yang memaknakan dengan makna orang yang berbuat demikian
ia tidak berada di atas perjalanan hidup
kami yang sempurna dan petunjuk kami. Namun Sufyan bin ‘Uyainah t membenci
ucapan orang yang menafsirkannya dengan: “Tidak di atas petunjuk kami.” Beliau
memaksudkan hal ini agar kita menahan diri dari mentakwil/menafsirkan lafadz
tersebut, dan membiarkan apa adanya agar lebih masuk/menghunjam ke dalam jiwa dan lebih tajam dalam memberikan
cercaan atas perbuatan tersebut. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 2/291)
Adapun Syaikhul Islam
Ibnu Tai-miyyah, beliau memiliki ucapan yang masyhur tentang hal ini: “Tidak
mengapa dijatuhkan padanya ancaman jika memang terkumpul syarat-syarat dan
tidak ada faktor-faktor yang menghalanginya.”
C.
PELAJARAN DARI HADITS
a.
Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan baik,tidak boleh ada
unsur penipuan di dalamnya.
b.
Demikian pulahlah muncul kejujuran dalam proses jual beli.
c.
Menciptakan rasa keadilan.
d.
Mengetahui larangan dan perintah yang telah di syariatkan.
e.
Akan timbul rasa Tangggung jawab di dalam jiwa para penjual dan pembeli.
f.
Menjalangkan syariat islam.
g.
Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli.
h.
Bisa menjalankan sunahrasul.
i.
Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan
larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktifitas manusia,
termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan dan
informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk,
menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik.
Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli.
Maka Islam sangat mengecam penipuan dalam bentuk apapun
dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang yang hendak dijual harus dijelaskan
kekuarangan dan cacatnya. Jika menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman.
Padahal, jika kejujuran dalam bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan
akan menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual, yang akhirnya
menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
Ingat! dalam hadits di atas Rasulullah Muhammad Saw telah
dengan tegas mengatakan, bahwa perdagangan jujur akan mendapatkan keberkahan.
Sedangkan, jika dalam bertransaksi dibumbui dengan ketidakjujuran, maka
Rasulullah Saw menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak akan berkah. Dalam
hadits lain ia menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dari
golongan kami (Riwayat Muslim).
Ketidakjujuran dalam bertransaksi saat ini memang sulit
ditemui. Banyak kita menjumpai pedagang yang hanya mengatakan barang yang
dijualnya adalah barang yang sempurna, paling bagus, yang membuat pembeli
tergiur, tetapi tidak dikatakan atau dijelaskan cacatnya barang tersebut. atau
promosi (penawaran) yang terjadi saat ini baik di media cetak atau elektronik
(TV dan radio) hanya mengatakan keunggulan-keunggulan produk tersebut, tapi
tidak pernah mengatakan kekuarangan-kekurangan dari produk tersebut.
Coba kita simak kisah seorang Ibnu Sirin, ia pernah menjual
seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan
menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu
juga Al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah),
kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah
dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min seperti
Ibnu Sirin dan Al-Hassan bin Shaleh merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan
cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
Di dalam Islam jual
beli terdapat Khiyar, Khiyar dalam jual beli terdapat tiga bagian yakni Khiyar alghabni, Khiyar Al-Aib
dan Khiyar At-Tadlis. Khiyar artinya mencari kebaikan dua perkara, yakni
menjadiakan akad atau tidak menjadikannya.
-
Khiyar alghabni.
Jika terjadi penipuan dalam
jual beli dengan penipuan yang keluar dari kebiasaan, yang merasa dirugikan
diantara keduanya diberi hak khiyar antara tetap menahan barang yang dibeli
atau mengembalikan nya .
Seseorang yang merasa rugi
tidak akan senang hatinya dengan tipuan. Jika kerugian itu sangat sedikit sebagaimana
yang berlaku dalam kebiasaaan, tidak ada khiyar.
-
Khiyar At-Tadlis
Yakni khiyar yang ditetapkan
karena tindakan yang disebut tadlis. Tadlis adalah menunjukkan barang yang
cacat seakan-akan bagus dan utuh. Kata-kata tadlis diambil dari asal kata ad-dalsah
yang berarti penzaliman. Seakan-akaan penjual dengan tindakan tadlisnya itu
menjadi seperti pembeli dalam kegelapan sehingga tidak bisa melihat barang
dagangan dengan cara yang sempurna. Tsdlis ini ada 2 macam : menyembunyikan
cacat barang dan menghiasi dan memperindah barang sehingga mendongkrak
harganya.
Tadlis adalah haram dan
syariaat memberikan kemudahan kepada pembeli untuk mengembalikan barang karena
ia mengeluarkan hartanya untuk sesuatu yang dibeli adalah berdasarkan sifat
barang yang ditunjukkan kepadanya oleh penjual. Jika ia mengetahui bahwa
sebenarnya barang yang dibeli bertolak-belakang sifatnya dari yang dikatakan
penjual, tentu ia akan menarik kembali harta yang ia keluarkan untuk barang
itu.
-
Khiyar Al-Aib
Khiyar yang menjadi tetap
pada pihak pembeli disebabkan adanya aib/cacat pada barang yang ia beli yang
tidak disampaikan oleh penjual atau tidak diketahui oleh penjual. Akan tetapi
jelas bahwa aib/cacat itu telah ada pada barang sejak sebelum dijual.[2]
Mudah-mudahan hal ini dapat dilaksanakan dikehidupan
sehari-hari sehingga transaksi yang dilaksanakan membawa keberkahan dalam
kehidupan. Dan tentunya tidak menzholimi pihak lain.
D.
DIALOG TERHADAP HADITS
Ketika Rasulullah SAW melewati sebuah pasar,
beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanan-nya. Bisa jadi
seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah. Bahan makanan
yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namun ketika mema-sukkan
jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan tersebut, beliau dapatkan
ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan makanan itu ada yang
cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah agar hanya bagian yang
bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah SAW. pun menegur perbuatan tersebut dan
mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti menipu pembeli, yang akan
menyangka bahwa seluruh bahan makanan itu bagus.
Sebagaimana
Uqbah ibn Amir berkata :
Saya
mendengar Rosulullah saw. bersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim
yang lain. Dan tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang kepada
saudaranya sementara barang itu ada cacat/ rusaknya kecuali ia harus
menerang-kannya kepada saudaranya (yang akan membeli tersebut).” (HR. Ibnu
Majah no. 2246. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan
Irwa`ul Ghalil no. 1321)
Juga
sebagaimana Watsilah ra. Berkata :
Rasulullah
SAW bersabda:
“Tidak
halal bagi seseorang menjual barang dagangan yang ia ketahui padanya ada
cacat/rusak kecuali ia beritahukan (kepada pembeli, -pent.).” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1775).
Ketika
dia tidak menerangkannya, berarti dia telah melakukan ghisy (penipuan) seperti yang
beliau peringatkan dan beliau kecam.
Abu Hurairah ra. Menerangkan :
Rasulullah berjalan melewati seorang laki-laki yang sedang menjual
makanan(gandum). Nabi memasukkan tangan nya kedalam tumpukan gandum, dan
ternyata gandum itu dalam keadaan basah. Karena itu Nabi berkata ; barangsiapa
mengicuh kami, maka dia bukan dari golongan kami”. (HR. Al-Jamaah, selain dari
Al-Bukhary, dan An-Nasa’i; Al- Muntaqa 2: 350).
Al- Adda Ibn Khalid ibn Haudzan ra. Berkata :
“Rasulullah mengirimkan surat kepadaku yang berbunyi : Barang inilah
yang dibeli oleh Al–Adda ibn Khalid ibn Haudzan dari Rasulullah. Dia membeli
seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, tak ada pada tubuhnya penyakit
yang disembunyikan, tidak ada padanya tipuan dan perangai buruk, penjualan
seorang muslim kepada seorang Muslim”. (HR. Ibnu Majah dan At-Turmudzy ;
Al-Muntaqa 2 : 350)
Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Ath –
Thabarany dari Abi Syammasah. Menurut Al-Hafidz sanadnya hasan.
Hadist ini menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang, haram. Penjual
wajib memberitahukannya terlebihdahulu kepada pembeli.
Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim. Di dalam
sanadnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan dan seorang perawi yang
tidak dikenal.
Hadist ini menjelaskan menyembunyikan cacat barang yang kita jual, hukumnya
haram.
Hadist ini diriwayatkan juga oleh Ibnul Jarud. Al-Bukhari
meriwayatkannya secara muallaq. Hadist ini menyatakan bahwa memberitahukan
bahwa benda yang kita jual ada cacatnya, hukumnya wajib.
Kompromi:
Seharusnya seorang mukmin menerangkan keadaan
barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila barang tersebut memiliki
cacat ataupun aib.
Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual,
adalah memberitahukan secara jujur kondisi barang yang akan dijualnya. Dan
mereka juga sepakat mengharamkan tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan
dalam satu hadist yang lain disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal
cacat pada barang tidak saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan
kewajiban orang lain yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya.
Dia berdosa bila mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya.[3]
Sedangkan Hadist diatas menyatakan bahwa
menyembunyikan cacat barang hukumnya haram dan wajib menerangkan secara terus
terang kepada pembeli.
E.
KESIMPULAN
Agama islam adalah agama yang toleran dan
sangat komprehensif , selalu memperhatikan berbagai maslahat dan kondisi,
menjauhkan sesuatu yang menyulitkan umat. Diantaranya apa-apa yang disyariatkan
didalam jual beli berupa pemberian kesempatan memilih kepada orang yang
mengadakan akad agar lebih banyak mengetahui barang yang akan dibeli dan
melihat kemaslahatan dari transaksi itu. Diutamakan apa-apa yang ia pikir
dibelakang akad adalah kebaikan, dan mundur dari akad jika apa-apa yang ia
lihat tidak membawa maslahat baginya.
Padahal kebutuhan manusia akan kejujuran dalam
kehidupan nyata adalah suatu hal yg tak terbantahkan. Jika kejujuran telah
lenyap maka kehancuran tatanan hidup manusia akan hancur secara perlahan maupun
cepat. Tentunya semua itu timbul dari lemahnya iman seseorang. Terutama imannya
akan adanya hari kiamat yg merupakan hari perhitungan amal
baik dan buruk seseorang. Hari yg merupakan saat ditegakkannya keadilan yg
sesungguhnya oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Pada saat itu tidak ada satu pun
yg tersembunyi dari-Nya. Kebaikan sekecil apa pun akan dibalas-Nya begitu juga
keburukan sekecil apa pu akan diberi-Nya ganjarannya. Tak seorang pun dapat
menghindari hisab pada hari kiamat. Percaya tidak percaya ia pasti akan
menghadapinya. Pelaku kejahatan di dunia ini biasanya memang tidak takut akan
hisab pada hari kiamat nanti. Mereka semakin asyik dalam dosa mereka
seakan-akan tidak ada pertanggungjawaban perbuatan mereka nantinya. Mereka
merasa bangga dapat menghindar dari hukum manusia yg lemah. Mereka merasa bahwa
dgn terlepasnya mereka dari hukum manusia mereka telah benar-benar bebas dari
tanggung jawab terhadap perbuatan mereka. Celakalah orang yg beranggapan
demikian. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan dosa dan maksiat
dan melindungi kita dari azab neraka yg sangat pedih.
REFERENSI
Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, dan Sunan at-Tirmidzi dalam software Maktabah Syamilah.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar.
Fathul Bari: Syarah Shahih Bukhari. Terj. Abu Ihsan al-Atsari. Jakarta:
Pustaka Imam Syafi’i, Jilid 8, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar